Sistem Algoritma Baru Bantu Pantau Sampah Plastik Laut dengan Satelit

-


para peneliti melatih algoritma pembelajaran mesin superkomputer pada 300.000 citra satelit multispektral. (Deposit Photos)

Mayoritas plastik yang mencemari lautan tidak mengapung di permukaan, melainkan tersembunyi di bawah ombak, sehingga menyulitkan pelacakan dan pemantauan dengan teknologi seperti satelit. 

Namun, sebuah sistem baru dengan algoritma pencarian bertenaga superkomputer dapat membantu memanfaatkan satelit untuk tugas ini. Dengan penelitian lebih lanjut dan penyempurnaan, sistem ini berpotensi menjadi alat yang berharga dalam mengatasi masalah global ini.


Penelitian yang diterbitkan pada 14 Juni di Nature Communications menunjukkan bahwa sebuah proyek melatih program pembelajaran mesin pada 300.000 citra multispektral dan inframerah Laut Mediterania yang dikumpulkan selama enam tahun oleh satelit Copernicus Sentinel-2 milik Badan Antariksa Eropa. Tim menggunakan database ini untuk mengidentifikasi windrows—filamen mengambang yang terdiri dari sampah dan plastik yang terbentuk oleh arus laut dan angin. 

Meskipun strukturnya sering berumur pendek, windrows (juga dikenal sebagai slick permukaan atau garis-garis) dapat memanjang bermil-mil sebelum akhirnya menyebar kembali ke laut. Proyek ini merupakan kolaborasi antara Institute of Marine Sciences (ICM-CSIC), Dewan Tinggi untuk Penelitian Ilmiah (CSIC), dan Universitas Cádiz di Spanyol.


Peta Laut Mediterania menunjukkan lokasi penumpukan sampah laut yang terdeteksi berkat satelit Copernicus Sentinel-2. Setiap lingkaran merah mewakili akumulasi yang terdeteksi antara Juni 2015 dan September 2021.

"Sampai saat ini, mencari kumpulan sampah berdiameter beberapa meter di permukaan laut seperti mencari jarum di tumpukan jerami, karena pembentukan windrows memerlukan adanya sampah dalam jumlah besar dan sedikit angin untuk mencegahnya menyebar," kata Manuel Arias, peneliti ICM-CSIC dan salah satu direktur proyek ini.


Meskipun windrows hanya menyumbang sebagian kecil dari keseluruhan sampah laut, para peneliti berteori bahwa sampah ini dapat berfungsi sebagai indikator hotspot polusi. Antara Juli 2015 dan September 2021, tim mendeteksi dan memantau total 14.374 windrows—peningkatan eksponensial dalam struktur sampah yang terdokumentasi. 

Banyak windrows yang terdeteksi oleh citra satelit kemudian diperiksa oleh kapal-kapal di wilayah tersebut. Secara total, polusi diperkirakan mencakup 94,5 kilometer persegi (hampir 36,5 mil persegi), setara dengan sekitar 7.500 lapangan sepak bola. Sebagian besar filamen berukuran panjang 1 km (0,62 mil), dengan 27 windrows yang terdokumentasi membentang 10-23 km (6,2-14,29 mil).


Analisis lebih lanjut terhadap pola pencemaran laut memungkinkan tim untuk menyimpulkan berbagai faktor yang memengaruhi akumulasi sampah laut, seperti kepadatan penduduk, geografi, dan curah hujan. Misalnya, wilayah dengan curah hujan tinggi cenderung lebih sering membuang sampah ke laut, sementara wilayah gurun pesisir mungkin memberikan kontribusi yang jauh lebih sedikit. Titik panas ini juga sebagian besar terletak dalam jarak 15 km (9,32 mil) dari pantai dan sering kali kembali ke pantai dalam beberapa minggu atau bulan berikutnya.

Para peneliti percaya bahwa sistem baru ini dapat membantu proyek pembersihan mengidentifikasi area dengan polusi plastik laut yang terkonsentrasi dan bahkan memperkirakan di mana dan kapan polusi tersebut akan menyebar. Mereka juga yakin bahwa program ini dapat diperluas untuk melacak isu-isu lain, termasuk kehilangan kargo kapal, tumpahan minyak, dan situasi pencarian dan penyelamatan.


"Sampah laut mencerminkan kegagalan peradaban kita dalam mengelola sampah," tulis tim dalam studi mereka. "Pengamatan berbasis satelit adalah salah satu harapan terbaik untuk pemantauan skala besar."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama