![]() |
AS dan China mulai mengurangi pinjaman ke Indonesia akibat ketegangan dagang dan perubahan arah investasi global. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar) |
Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2025 tercatat sebesar US$427,2 miliar atau sekitar Rp7.176 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.800 per dolar AS). Angka ini menunjukkan penurunan dari posisi bulan sebelumnya, Januari 2025, yang sebesar US$427,9 miliar. Penurunan tersebut terjadi baik pada sektor pemerintah maupun swasta.
Menurut Ramdan Denny Prakoso, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), penguatan dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia, termasuk Rupiah, turut memengaruhi nilai ULN Indonesia di bulan tersebut.
Utang luar negeri pemerintah mengalami penurunan tipis dari US$204,8 miliar menjadi US$204,7 miliar. Salah satu penyebabnya adalah pergeseran minat investor asing dari surat berharga negara (SBN) domestik ke instrumen keuangan lainnya. Di sisi lain, sektor swasta juga mencatatkan penurunan ULN, menunjukkan tren kehati-hatian dalam pembiayaan eksternal.
Jika dilihat dari pihak pemberi pinjaman, Singapura menempati posisi teratas sebagai kreditor terbesar Indonesia dengan nilai US$55,46 miliar atau sekitar 12,98% dari total ULN. Amerika Serikat berada di urutan kedua dengan nilai US$27,68 miliar.
Secara keseluruhan, porsi ULN pemerintah dan bank sentral mencapai US$232,35 miliar atau 54,39%, sedangkan sisanya sebesar US$194,82 miliar atau 45,61% berasal dari sektor swasta, termasuk lembaga keuangan bank maupun non-bank.
Penurunan ULN ini tidak hanya terjadi dari kreditor Singapura, melainkan juga tercermin dari kreditor AS lainnya, seperti AS, maupun China.
Namun berbeda halnya dengan kreditor Jepang dan Hongkong yang justru memberikan utang yang lebih tinggi dibandingkan Januari 2025.
AS dan China Kurangi Pemberian Utang ke Indonesia
Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China turut memengaruhi aliran pembiayaan ke Indonesia. Konflik dagang ini menciptakan ketidakpastian ekonomi global yang berdampak pada penurunan investasi langsung dari kedua negara tersebut.
Beberapa dampak yang terlihat akibat kondisi ini antara lain:
Perubahan Arah Investasi
Banyak perusahaan global mulai memindahkan operasi mereka dari China ke negara lain untuk menghindari tarif tinggi. Meski ini membuka peluang bagi Indonesia, persaingan dengan negara-negara seperti Vietnam dan Thailand membuat Indonesia harus meningkatkan daya saing.
Dampak ke Sektor Strategis
Penurunan investasi dari AS dan China berimbas pada sektor-sektor penting seperti manufaktur, infrastruktur, dan teknologi—yang selama ini menjadi fokus investasi asing.
Kesempatan Diversifikasi Sumber Modal
Kondisi ini membuka jalan bagi Indonesia untuk menggandeng mitra baru seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Uni Eropa. Pemerintah bisa memanfaatkan momentum ini dengan menciptakan kebijakan yang menarik bagi investor baru.
Langkah Pemerintah
Pemerintah perlu segera memperkuat reformasi regulasi, membangun infrastruktur yang kompetitif, serta memberikan insentif fiskal untuk menarik investasi baru dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.