![]() |
Uang kertasrupiah. (Dok. BTN) |
Istilah seperti "kelas atas", "kelas menengah", dan "kelas bawah" sering kali muncul dalam pembahasan soal ekonomi dan masyarakat. Tapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pembagian kelas ini?
Salah satu cara yang umum digunakan untuk mengidentifikasi kelas ekonomi seseorang adalah dengan melihat kekayaan bersih—yakni selisih antara total aset yang dimiliki dan seluruh utang yang dimiliki.
Kekayaan bersih bukan hanya tentang uang tunai di rekening, tetapi mencakup seluruh nilai properti, investasi, hingga barang berharga lainnya, dikurangi kewajiban finansial.
Mengacu pada data terkini dari Federal Reserve, berikut adalah gambaran rata-rata kekayaan bersih berdasarkan kelompok ekonomi:
Kelas atas (10% teratas): rata-rata kekayaan bersih mencapai sekitar US$ 2,65 juta (sekitar Rp 40,96 miliar).
Kelas menengah ke atas: sekitar US$ 300.800 (Rp 4,64 miliar).
Kelas menengah: sekitar US$ 169.420 (Rp 2,61 miliar).
Kelas menengah ke bawah: sekitar US$ 58.550 (Rp 905 juta).
Kelas bawah: sekitar US$ 16.900 (Rp 261,24 juta).
Namun, angka-angka tersebut hanyalah rata-rata dan tidak sepenuhnya mewakili kondisi setiap individu. Misalnya, seseorang yang baru saja lulus kuliah mungkin memiliki utang pendidikan yang besar, tetapi juga memiliki potensi penghasilan tinggi. Sebaliknya, seorang pensiunan bisa memiliki penghasilan terbatas, tetapi juga bebas utang dan memiliki aset berharga seperti rumah.
Selain kekayaan bersih, aspek lain seperti penghasilan rutin dan biaya hidup harian juga sangat memengaruhi kenyamanan hidup.
Contohnya, seorang guru di kota kecil mungkin merasa lebih stabil secara ekonomi dibandingkan seorang aktor yang hidup di kota besar dengan pengeluaran tinggi, meski kekayaan bersih mereka berbeda jauh.
Kesimpulannya, pembagian kelas ekonomi bukanlah sesuatu yang mutlak. Banyak faktor yang memengaruhi kondisi finansial seseorang, dan kekayaan bersih hanyalah salah satunya.