Bukan China, Dolar Sendiri yang Tumbang di Perang Tarif Trump

.

(Kredit foto: Ilham Restu)


Kinerja mata uang dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan tren penurunan sejak Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS. Langkah-langkah kebijakan ekonomi, khususnya terkait tarif impor, serta kekhawatiran akan potensi resesi di dalam negeri turut memberikan tekanan besar terhadap dolar.


Berdasarkan data dari Refinitiv, indeks dolar AS (DXY) pada 20 Januari 2025 tercatat berada di level 109,35. Namun hingga Jumat pagi (11/4/2025) pukul 10:19 WIB, nilainya telah turun ke posisi 100,06.

   



Ini berarti terjadi pelemahan sebesar 8,5% dalam rentang waktu kurang dari tiga bulan. Penurunan terbesar tercatat pada 10 April 2025, di mana indeks DXY anjlok hingga 1,98% dalam sehari.

Menurut laporan CNBC International, pelemahan ini menjadi semakin nyata pada Kamis (10/4), yang mencerminkan respon pasar terhadap kebijakan perdagangan yang semakin agresif dari Presiden Trump.
Baca Juga
 

Sementara sebelumnya banyak pihak memperkirakan bahwa kebijakan tarif akan memperkuat dolar, kenyataannya justru sebaliknya. Nilai tukar dolar mengalami tekanan berat, disertai dengan aksi jual besar-besaran di pasar saham dan obligasi AS.

Kondisi ini dipandang sebagai bentuk reaksi negatif dari para investor global, terutama terhadap pendekatan proteksionis yang diterapkan pemerintahan Trump. Investor asing tampaknya mulai menarik dananya dari aset-aset berbasis AS, sehingga memperburuk posisi dolar di pasar global.

Selain itu, meningkatnya kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya resesi ekonomi AS juga memperlemah sentimen terhadap dolar. Mata uang ini tercatat melemah tajam terhadap sejumlah mata uang safe haven seperti yen Jepang dan franc Swiss, yang biasanya menjadi pilihan saat pasar menghadapi ketidakpastian.

Ketegangan Dagang: AS Fokus ke China

Perhatian utama dalam kebijakan tarif Presiden Trump saat ini tampaknya tertuju secara eksklusif kepada China. Dalam 24 jam terakhir, Gedung Putih menyampaikan bahwa Presiden telah menangguhkan rencana penerapan tarif resiprokal terhadap hampir semua negara, kecuali China.

Faktanya, tarif dasar yang dikenakan AS terhadap barang-barang asal China kini mencapai angka 145%, jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya disampaikan Trump di media sosial, yaitu 125%. Ini juga melampaui target awal saat kampanye, di mana Trump pernah berjanji akan memberlakukan tarif sebesar 60% untuk China.

Dalam konteks ini, fokus kebijakan perdagangan AS semakin terlihat terarah. Tim ekonomi Trump juga secara aktif melibatkan negara-negara tetangga China seperti Jepang, Korea Selatan, India, hingga Vietnam dalam dialog perdagangan, yang dapat dimaknai sebagai strategi untuk menekan dominasi ekonomi China di kawasan Asia.

Di sisi lain, China juga tidak tinggal diam. Pemerintah Negeri Tirai Bambu meningkatkan tarif balasan terhadap AS menjadi 84%, sebagai bentuk respons terhadap kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Washington.

Salah satu langkah terbaru yang cukup mengejutkan pasar adalah keputusan Presiden Trump untuk menunda penerapan tarif tambahan selama 90 hari bagi negara-negara lain, dengan alasan bahwa banyak pihak di dalam dan luar negeri mulai merasa cemas terhadap kebijakan tersebut. 

Namun, pengecualian tetap diberlakukan untuk China, yang menunjukkan bahwa ketegangan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia ini belum akan mereda dalam waktu dekat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama