![]() |
Ilustrasi dollar AS, uang dollar AS.(PIXABAY/PASJA1000) |
Sejumlah individu kaya di Indonesia mulai memindahkan dana dalam jumlah besar ke luar negeri. Langkah ini dipicu oleh kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi nasional dan arah kebijakan fiskal pemerintahan saat ini.
Menurut laporan Bloomberg pada Jumat (11/4/2025), aset seperti emas, properti, dan mata uang kripto—terutama stablecoin USDT milik Tether—menjadi instrumen yang paling diminati.
Bloomberg mengungkapkan, hasil wawancara dengan lebih dari selusin bankir swasta, manajer kekayaan, dan individu berpenghasilan tinggi menunjukkan bahwa sebagian dari mereka telah mengalihkan hingga 10 persen kekayaannya ke aset kripto, sejak Oktober 2024. Tren ini semakin meningkat usai nilai tukar rupiah tertekan tajam pada Maret 2025.
Arus keluar modal ini diyakini turut memperlemah nilai tukar rupiah, yang sempat menyentuh titik terendah dalam sejarah terhadap dolar AS pada Rabu (9/4/2025). Meskipun sempat pulih keesokan harinya, ketegangan global, termasuk kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump, terus mempengaruhi sentimen pasar.
Kekhawatiran investor juga muncul dari kebijakan Presiden Prabowo Subianto, yang dianggap berisiko terhadap stabilitas fiskal. Sejumlah analis menyoroti peningkatan belanja negara, peran militer yang diperluas, serta ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dinilai akan membutuhkan pembiayaan besar dan menimbulkan tekanan terhadap defisit anggaran.
Salah satu mantan eksekutif perusahaan besar di Indonesia mengungkapkan bahwa ia mulai rutin membeli USDT dalam beberapa bulan terakhir. Mata uang digital ini dinilai memudahkan pemindahan dana ke luar negeri tanpa perlu melintasi batas fisik negara.
Sejak Februari 2025, sebuah firma keuangan mencatat klien-kliennya telah memindahkan lebih dari 50 juta dolar AS ke wilayah seperti Dubai dan Abu Dhabi.
Biasanya dana tersebut digunakan untuk membeli properti, baik atas nama kerabat maupun teman dekat, guna menghindari perhatian regulator. Beberapa bahkan mengurus visa kerja di negara tersebut untuk membentuk perusahaan cangkang sebagai sarana transaksi.
Wilayah Timur Tengah pun kini menjadi alternatif baru, seiring meningkatnya pengawasan finansial di Singapura pasca skandal pencucian uang. Meski bersifat fluktuatif, aset kripto seperti USDT dianggap fleksibel dan relatif tidak terlalu diawasi, khususnya dalam transaksi besar yang nilainya melebihi 100.000 dolar AS.
Di Indonesia, meskipun tidak ada larangan langsung terhadap pergerakan dana individu, transfer dalam jumlah besar tetap berpotensi memicu pengawasan dari otoritas, terutama dalam konteks pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Menurut Wan Iqbal, Chief Marketing Officer Tokocrypto, transaksi pasangan USDT/rupiah kini menyumbang lebih dari 25 persen volume harian di platform tersebut.
Sementara analis Dedi Dinarto dari Global Counsel LLP menyebutkan bahwa pemerintah masih punya peluang untuk meredam arus keluar dana ini, asalkan dapat menjamin arah kebijakan fiskal yang jelas dan komitmen terhadap proyek infrastruktur jangka panjang.