Tarif Resiprokal Trump: Strategi Atasi Defisit atau Taktik Tekan Biaya Utang?

.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat mengumumkan tarif impor baru dalam acara di Rose Garden, Gedung Putih, Washington DC, 2 April 2025. (AFP/BRENDAN SMIALOWSKI)


Penerapan tarif resiprokal oleh pemerintahan Donald Trump terhadap berbagai negara di dunia diperkirakan memiliki dua tujuan utama: mengatasi defisit perdagangan Amerika Serikat (AS) dan meningkatkan penciptaan lapangan kerja dalam negeri.


Defisit perdagangan selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri manufaktur AS. 

Dengan mengenakan tarif terhadap produk impor, Trump berharap produksi dalam negeri meningkat, menciptakan lebih banyak pekerjaan bagi warga AS.

Namun, di balik strategi proteksionis ini, terdapat dugaan tujuan yang lebih strategis dan jangka panjang: pengelolaan utang nasional AS, khususnya surat utang pemerintah (US Treasury/UST).

Tekanan terhadap Yield UST

Pemerintahan Trump ditengarai ingin menekan yield UST agar dapat mengurangi ongkos pembiayaan utang nasional yang akan jatuh tempo dalam jumlah besar pada periode 2025–2028.

Berdasarkan laporan bulanan The Bureau of The Fiscal Service per Maret 2025, nilai outstanding utang jatuh tempo AS pada periode tersebut mencapai US$ 16,8 triliun. Angka ini setara dengan 46,4% dari total utang nasional AS yang mencapai US$ 36,21 triliun per 31 Maret 2025.

Namun, alih-alih menurunkan yield, ketegangan dagang akibat tarif resiprokal justru memicu gejolak di pasar obligasi. Yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun melonjak dari 3,99% pada akhir pekan lalu menjadi 4,45% pada Rabu (9/4/2025), berdasarkan data Investing.com. Kenaikan yield ini mengindikasikan adanya aksi jual besar-besaran terhadap UST.

Menurut Head of Research Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, kenaikan yield dalam tiga hari terakhir menunjukkan adanya aksi lepas surat utang AS oleh investor besar. 


Aksi Investor Asing

Kecurigaan terhadap China bukan tanpa dasar. Negara ini merupakan salah satu pemegang terbesar surat utang AS. Data per Januari 2025 mencatat bahwa Jepang memiliki UST senilai US$ 1,08 triliun, disusul China sebesar US$ 760,8 miliar, dan United Kingdom sebesar US$ 740,2 miliar.

Laporan lain bahkan mencatat bahwa pada akhir 2024, China telah memangkas kepemilikan UST-nya sebesar US$ 28,1 miliar, sementara Jepang mengurangi sebesar US$ 7,6 miliar. 

Langkah ini mencerminkan kekhawatiran negara-negara kreditur terhadap prospek ekonomi AS dan potensi dampak lanjutan dari kebijakan tarif.

Kebijakan yang Kontraproduktif?

Peningkatan yield obligasi sejatinya menjadi ironi bagi tujuan awal kebijakan tarif Trump. Jika yield naik, maka beban bunga yang harus dibayar pemerintah AS ikut meningkat, sehingga memperbesar beban fiskal negara.

Sebelumnya, sempat terjadi penurunan yield ke bawah 4% seiring aksi beli UST oleh investor yang mencari aset aman di tengah ketidakpastian pasar saham. Namun, ketegangan dagang justru memicu pergeseran kembali ke arah aksi jual.

Scott Bessent, Menteri Keuangan dalam kabinet Trump, telah mengupayakan langkah-langkah untuk menjaga yield tetap rendah, tetapi volatilitas pasar terus menghambat usaha tersebut. 

Dalam pandangan analis pasar, kebijakan fiskal Trump justru menciptakan ketidakpastian tambahan bagi pelaku pasar.

Peran Federal Reserve

Ketidakstabilan di pasar obligasi juga meningkatkan tekanan terhadap Federal Reserve (The Fed) untuk bertindak. 

Sejumlah ekonom memperkirakan bahwa The Fed dapat kembali turun tangan dengan membeli obligasi dalam jumlah besar guna menstabilkan yield dan menjaga likuiditas pasar. 

Namun, efektivitas kebijakan moneter sangat bergantung pada koordinasi yang baik dengan kebijakan fiskal pemerintahan Trump.




Kebijakan tarif resiprokal yang semula bertujuan meningkatkan ekonomi domestik ternyata memicu efek domino terhadap pasar keuangan global, khususnya pasar surat utang AS. 

Dengan yield yang naik dan aksi jual UST oleh negara-negara asing, tantangan fiskal AS menjadi semakin kompleks, terutama menjelang gelombang jatuh tempo utang dalam beberapa tahun ke depan.

Alih-alih menyelesaikan masalah defisit dan penciptaan lapangan kerja, kebijakan ini justru memperbesar risiko pembiayaan utang dan menambah tekanan terhadap stabilitas ekonomi makro. 

Pemerintah AS perlu mengevaluasi kembali strategi ekonominya dan mencari jalan tengah antara proteksionisme dan stabilitas fiskal jangka panjang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama