RI Masuk Daftar Negara Paling Gencar Bangun PLTU Baru

.

PLTU menjadi bagian dari infrastruktur energi berbasis batu bara yang masih aktif dikembangkan di Indonesia. (ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto)

Pertumbuhan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan. Berdasarkan laporan terbaru dari Global Energy Monitor (GEM) bertajuk “Boom and Bust Coal 2025: Tracking the Global Coal Plant Pipeline”, Indonesia menempati posisi ketiga secara global dalam penambahan kapasitas PLTU baru pada tahun 2024, dengan total tambahan sebesar 1,9 gigawatt (GW). 


Menariknya, sekitar 80 persen dari tambahan tersebut merupakan PLTU captive—yakni pembangkit yang dibangun khusus untuk memasok listrik ke fasilitas industri tertentu.

Laporan GEM mencatat bahwa Indonesia saat ini mengoperasikan sekitar 130 unit PLTU captive dengan kapasitas masing-masing minimal 30 megawatt (MW), serta 21 unit lainnya yang sedang dalam tahap pra-konstruksi atau pembangunan. 

Peneliti Senior GEM, Lucy Hummer, mengungkapkan bahwa sejak Perjanjian Paris 2015, kapasitas PLTU di Indonesia telah bertambah sebanyak 29 GW, menjadikan total kapasitas PLTU nasional saat ini mencapai 54,7 GW—terbesar kelima di dunia.

Dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060, pemerintah Indonesia bahkan merencanakan penambahan kapasitas PLTU sebesar 26,7 GW dalam tujuh tahun ke depan. Sebagian besar dari proyek baru tersebut (sekitar 75 persen) juga merupakan PLTU captive.

Padahal, Indonesia sebelumnya telah menyatakan komitmennya untuk tidak membangun PLTU baru setelah tahun 2022, sebagai bagian dari upaya transisi menuju energi bersih. Negara ini juga telah menargetkan untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap hingga 2050. 

Namun, komitmen tersebut memiliki pengecualian, khususnya bagi PLTU yang telah masuk dalam perencanaan pasokan listrik nasional maupun proyek-proyek strategis yang mendukung industrialisasi, seperti program hilirisasi mineral.

“Ini menunjukkan adanya kontradiksi antara kebijakan energi dan komitmen iklim Indonesia,” kata Lucy. “Seolah-olah tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan.”

Lebih lanjut, Lucy menjelaskan bahwa Indonesia masih merancang pengoperasian PLTU hingga tahun 2060, dengan pendekatan teknologi seperti co-firing (menggunakan campuran bahan bakar seperti biomassa) dan penerapan teknologi carbon capture and storage (CCS). 

Beberapa PLTU bahkan direncanakan untuk diretrofit agar bisa menggunakan bahan bakar alternatif seperti amonia, biomassa, bahkan energi nuklir.

Namun, pendekatan ini dinilai tidak efisien secara biaya dan belum memberikan jaminan pengurangan emisi yang signifikan. “Penggunaan biomassa dapat mempercepat deforestasi, sedangkan CCS masih merupakan solusi yang belum terbukti efektif secara luas,” ujar Lucy.

Sementara itu, tren global justru menunjukkan arah sebaliknya. Sebanyak 22 negara telah secara aktif mengurangi kapasitas PLTU mereka. Di Eropa, penutupan PLTU meningkat drastis, dari 2,7 GW pada 2023 menjadi 11 GW di 2024. 

Jerman menjadi kontributor terbesar dengan penghentian 6,7 GW kapasitas batu bara, dan Inggris menjadi negara keenam yang sepenuhnya menghapus batu bara dari sistem kelistrikannya sejak Perjanjian Paris.

Di sisi lain, Indonesia, bersama dengan China, India, Bangladesh, dan Korea Selatan, masih menjadi kelompok negara yang aktif menambah kapasitas PLTU. China berada di posisi teratas dengan tambahan sebesar 30,52 GW, diikuti India (5,81 GW), Indonesia (1,9 GW), Bangladesh (1,26 GW), dan Korea Selatan (1,05 GW).


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama